Saturday, 30 December 2023 , Admin
24 Desember 2023
YANG KITA SEBUT LEMBAGA KEMAHASISWAAN
Surat cinta kasih yang tulus disampaikan kepada fungsionaris ataupun yang dilekatkan dengan calon atau demisioner maupun alumni dimanapun kalian berada: Salam, mari berefkleksi dan evaluasi bersama!
Bagaimana kabar lembaga kita hari ini? Apakah kalian baik-baik saja di sana? Pertanyaan lanjutan: (1) Yang menjawab baik baik saja, semoga tetap begitu dan semoga selalu ber-refleksi; (2) Yang menjawab tidak baik baik saja, semoga senantiasa untuk tidak berputus asa dan menghadirkan langkah prevetif.
KITA
Adalah sebuah kemunafikan jika mengatakan mahasiswa hari ini adalah kumpulan para pembelajar yang kritis dengan kepedulian tinggi pada alam terlebih sesama. Mari menjadi perasa, berapa banyak dari kita yang merasa kritis dengan peduli alam dan sesama(?).
KESEHARIAN KAMPUS
Adalah gambaran dari kondisi kemahasiswaan yang mengalami degradasi. Perihal degradasi, secara kuantitas kampus PTN-BH yang sejatinya kita cintai ini mengalami peningkatan secara signifikan akibat dari laju kapitalisasi yang menjadi efek dari transformasi PTN Menuju PTN-BH. Namun, secara kualitas? Berapa banyak dari kita yang sadar dan rasakan hal itu? Saya pernah membaca sebuah tulisan yang mengangkat kondisi ideal mahasiswa yang minimalnya paling tidak kita menjadi perasa dari sesama sebelum berangkat ke kondisi kritis yang diharapkan. Hal ini yang sebenarnya disebabkan karena kondisi PTN-BH yang memerlukan hal berupa kertas dan biasanya berupa nominal untuk mempertahankan dan membangun Benteng Takeshi yang mandiri dan katanya “Berbadan Hukum”.
Sebagai yang awam, alasan fundamental berkecimpung di lembaga kemahasiswaan adalah ruang atau wadah pengembangan potensi lebih dari ruang kelas, sebagai ruang pra-kondisi kerja, atau sekedar mencari poin kemahasiswaan yang merupakan efek dari ketentuan atau standarisasi lulus dari sistem yang amat payah ini. Lembaga kemahasiswaan hadir sebagai pengharapan dari pihak kampus sebagai penunjang akreditasi. Namun, hari ini menjadi oposisi dari kacamata birokrasi kampus itu sendiri. Saya merasa saat ini, kampus terlebih sistem pendidikan ingin menutup kritis kita dan membatasi hanya sampai ke naif-an saja.
Saat ini kondisi yang tergambarkan di keseharian kampus, kurang lebih: (1) Mahasiswa baru sibuk dengan dinamika kaderisasi yang sebagian besar dari mereka baru merasakan dinamika tersebut dan persoalan Praktikum dan Lab yang sangat rumit. (2) Mahasiswa berusia setahun setelahnya lagi, tengah sibuk dengan pembelajaran dalam kelas yang cenderung kaku dan sebagian dari mereka sibuk dengan kepanitiaan yang kaku dengan metodologi kulturul konservatif dan dianggap punya nilai di lembaga masing-masing. (3) Mahasiswa berusia di tahun selanjutnya masih sibuk dengan akademik ditambah peran tambahan menjadi asisten dari penerapan meteodologi kampus serta sebagian dari mereka sedang berdinamika di forum-forum musyawarah besar atau sejenisnya yang menurut mereka menjadi ruang transisi periodesasi kepengurusan. (4) Mahasiswa setahun setelahnya lagi, sedang sibuk dengan tugas akhir yang amat belibet disertai dengan sibuk menyusun draft lpj nya (perihal administrasi untuk lulus, mungkin juga perihal evaluasi? ah sudahlah) untuk ke forum mubes untuk mempertanggungjawabkan(?) atau sekedar prosedural untuk menyelesaikan kepengurusan(?). (5) Mahasiswa tahun selanjutnya sedang sibuk dengan fungsi pengawasannya terhadap periodesasi kepengurusan dan sebagian dari mereka lagi meninggalkan dosa di lembaga dengan dalih fokus makan ayamcrispy HAHAHAHAHA. (6-7) Mahasiswa di tahun-tahun selanjutnya, sedang sibuk mempertanggungjawabkan dosa-dosanya di lembaga dan ada yang meninggalkan ayamcrispynya dikampus dengan berkecimpung di dunia politik praktis HAHAHA Dan ada pula yang merasa sadar untuk kembali menyantap ayamcrispynya dikampus. Dari keseharian kampus, kita bagian dari yang mana? Atau ada keseharian kampus yang lebih menarik? tolong kirim di komentar (begitu ulah influencer yang sedang mencari suara hehehe, eh pengikut maksudnya). Apa ada dari kita yang menjadi perasa ditengah jeritan se-sama? terlebih yang katanya lembaga kaderisasi dan advokasi.
Yang paling menjengkelkan dari kondisi ini, adalah berpuas diri atas pencapaian untuk lulus dengan menyingkirkan ribuan pesaing lainnya untuk menyandang status kemahasiswaan. Berbangga diri dalam kekosongan, tidak lebih akan modal untuk berbangga. Mari kita lihat lebih dekat. Betapa angkuhnya akan rasa bangga terhadap jabatan fungsionaris maupun yang dilekatkan dengan calon maupun demisioner yang kita tengah jalani sebagai peran berlembaga. Begitu naifnya melihat kondisi kaderisasi yang meliha para mahasiswa baru sebagai lembar kosong yang harus diisi dengan segala bentuk kaderisasi lembaga dengan dalih pembingkaian.
Keberpuas dirian dan mitos ke-maha an mahasiswa dalam arah yang begitu memalukan saat ini. Hal ini yang harusnya menjadi pekerjaan rumah bagi kita (para pembelajar,khususnya yang dilekatkan dengan peran fungsionaris, calon, maupun demisioner). Alasan beridealisme karena status mahasiswa dan umur yang masih muda harus secepatnya kita retas karena itu semua palsu.
YANG TERLUPAKAN
Mungkin, alasan mengapa kita dan mahasiswa lainnya menjadi sebegitu pasifnya terhadap laju kapitalisme hari ini, karena kultur dan struktur kampus yang menutup katup pemberontakan itu. Juga karena lembaga kemahasiswaan kita yang masih menggantungkan idealisme kamahasiswaan sebagai nilai yang harus selalu diinternalisasikan kepada KEMA dan mahasiswa baru setiap tahunnya. Yang katanya adalah kunci gerakan. Yang jika kita lihat hanya akan melahirkan lingkaran antagonism tak berujung, tidak berkesudahan. Idealisme palsu, satu kebohongan di pelataran dunia yang juga telah sesak akan kebohongan.
Untuk saat ini, mari berkaca, melihat ke dalam. Lihatlah lembaga kemahasiswaan hari ini. Jika setiap lembaga; BEM, SENAT, Himpunan, hingga UKM percaya pada kritisisme dan sikap anti kapitalisme, seberapa banyak di antara kita yang memasukkan diskusi Kapital-isme dalam kurikulum kajian lembaga. Jika lembaga punya sikap anti kapitalisme, sewajarnyalah ia terlebih dahulu melakukan kajian kapital untuk membaca realitas ketimpangan hari ini.
Belum lagi, kegiatan yang lembaga lakukan juga punya aroma pengkhianatan; acap kali kita temui pamphlet kegiatan lembaga kemahasiswaan yang mengikutsertakan logo korporasi tertentu sebagai sponsor. Ini adalah sebuah penyimpangan dalam perjuangan kita melawan kapitalisasi pendidikan. Korporasi yang selama ini haram hukumnya menginjak kampus, secara sadar (tidak sadar) telah kita undang masuk menginfeksi tubuh lembaga, meracaukan wacana pendidikan alternatif yang lembaga mahasiswa gaungkan.
Kegiatan-kegiatan lainnya yang membingungkan, adalah pengadaan acara inaugurasi yang memakan anggaran puluhan hingga ratusan juta rupiah. Lembaga begitu serius menyajikan pertunjukan seni dengan dana selangit. Tapi dalam kegiatan lainnya, kaderisasi dan ruang-ruang advokasi misalnya.
Ada lagi, fakta mencengangkan tentang lembaga kemahasiswaan di Unhas. Lembaga begitu bergairah mengikuti konsolidasi hanya ketika wacana pembentukan BEM U yang menjadi agendanya. Selain daripada itu, lembaga lembaga yang datang bisa dihitung jari hanya karena persoalan idealis yang berbeda dan enggan untuk mendudukkan bersama. Menyedihkan.
YANG SEMESTINYA
Mahasiswa, terlebih yang berkecimpung di lembaga para pembelajar atau lebih familiar dengan Lembaga Kemahasiswaan harusnya mengidentifikasi lebih lanjut terkait arah gerak yang ingin kita capai dalam ber-himpun, melakukan kaderisasi dengan asas ilmiah, regenerasi,dll sesuai dengan corak dan arah gerak lembaga masing masing. Menjadi penyesalan kemudian, Lembaga hari ini sangat tertutup dengan peradaban dengan menggunakan dalih kultural yang sebenarnya itu adalah metode atau alat yang digunakan para terdahulu yang kemudian dianggap membudaya lalu kita kemas dengan “kultur”. Pada dasarnya sebagai yang katanya kaum intelektual lebih terbuka dan mengaplikasikan metodologinya sendiri lalu di evaluasi kemudian. Namun sayangnya, sedikit dari kita yang berhasil membuktikan kepada para terdahulu akan keberhasilan metodologi yang katanya inovatif itu.
Kondisi akhir tahun selalu dirayakan di lembaga dengan forum-forum mubes atau sejenisnya yang sering kita kontekskan dengan fase transisi periode kepengurusan. Sedikit dari kita yang takut akan LPJ ditolak atau diputihkan. Karena apa? Kondisi tersebut dikarenakan kurangnya kesadaran akan fungsionaris yang hanya mengerjakan fungsinya sebagai prosedural belaka tanpa mengetahui substansi dan capaian dari program kerja yang mereka gagas diawal kepengurusan. Ditambah lagi, ruang pertanggung jawaban dipandang hanya tempat untuk menjatuhkan dan menerima sanksi bukan lagi berbicara tentang persoalan yang lebih penting yaitu refleksi dan membahas hal preventif untuk lembaga kedepannya.
Sejatinya kita perlu menghidupkan kembali tradisi intelektual dalam berlembaga agar terhindar dari penglanggengan sistem kelembagaan yang kacau hingga hari ini.
Apa yang sejatimya kita perjuangkan di lembaga Kemahasiswaan?
YANG KITA SEMOGAKAN
⅀?
mari kita berkaca dan menemukan alasannya sesuai dengan konteks lembaga masing-masing!
KARYA :
M.RADEN ZYAHUL HAQ AL BILAL
Bedah Artikel : Nenengisme dan Problemnya
Admin
24 April 2025