Bedah Artikel: Peran Penting petani milenial jaga ketahanan pangan indonesia


Thursday, 26 June 2025 , Admin

Bedah Artikel: Peran Penting petani milenial jaga ketahanan pangan indonesia

Ketahanan Pangan merupakan isu strategis yang menyangkut tidak hanya soal ketersediaan pangan, melainkan juga kemandirian dan kedaulatan suatu bangsa dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, petani memegang peranan sentral, khususnya generasi muda atau petani milenial yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak regenerasi sektor pertanian Indonesia. Namun realitasnya jauh lebih kompleks. Di tengah gencarnya kampanye regenerasi petani, pemerintah justru masih membuka keran impor pangan dalam jumlah besar, mulai dari beras, gula, kedelai, hingga komoditas utama lainnya. Kebijakan ini menciptakan ironi: negara ingin mewujudkan swasembada, tetapi pada saat yang sama justru melemahkan posisi petani lokal melalui kompetisi harga yang tidak adil. Selain itu, dominasi beras sebagai makanan pokok secara nasional juga telah menggeser eksistensi dan potensi pangan lokal seperti sagu, singkong, dan jagung yang sebenarnya bisa menjadi bagian dari solusi diversifikasi pangan nasional.

Dalam kerangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan, petani milenial dinilai memiliki keunggulan karena lebih adaptif terhadap teknologi, inovasi, dan memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi. Program-program seperti Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) dari Kementerian Pertanian menjadi contoh bagaimana negara berusaha mendorong keterlibatan generasi muda di sektor ini. Namun persoalannya tidak berhenti pada aspek teknis. Profesi petani masih dipandang sebelah mata di kalangan masyarakat dan kerap tidak dianggap sebagai cita-cita masa depan. Stigma bahwa petani adalah pekerjaan kasar dan kurang menjanjikan membuat anak muda enggan turun ke sawah, meskipun mereka tinggal di desa dan berasal dari keluarga petani. Oleh karena itu, regenerasi pertanian tidak cukup hanya dengan menyediakan akses teknologi atau pelatihan, tetapi harus disertai dengan perubahan paradigma bahwa menjadi petani adalah profesi yang strategis, membanggakan, dan berkontribusi besar terhadap masa depan bangsa.

Lebih jauh, terdapat kesenjangan yang mencolok dalam pelaksanaan program petani milenial. Banyak pemuda di desa yang sebenarnya aktif bertani dan telah terlibat langsung dalam proses produksi, justru tidak terlibat dalam program-program pemerintah karena tidak memiliki pendidikan formal atau koneksi dengan institusi yang menyelenggarakan program tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa definisi “petani milenial” kerap terjebak pada pendekatan elitis seolah hanya mereka yang berpendidikan tinggi dan paham teknologi digital yang layak disebut sebagai petani masa depan. Padahal, regenerasi petani seharusnya bersifat inklusif, mengakui pengetahuan lokal, pengalaman empiris, dan keterlibatan nyata dalam kegiatan pertanian. Dengan begitu, pelatihan, akses permodalan, dan intervensi kebijakan bisa menyasar kelompok yang benar-benar membutuhkan, bukan hanya mereka yang sudah mapan secara sosial atau digital.

Salah satu hambatan besar dalam mewujudkan visi pertanian modern yang melibatkan generasi muda adalah terbatasnya akses teknologi dan infrastruktur dasar di wilayah-wilayah terpencil. Meskipun banyak program digitalisasi pertanian telah digulirkan, kenyataannya banyak petani masih belum memiliki akses internet yang stabil, jalan usaha tani yang layak, atau layanan penyuluhan berbasis teknologi. Tanpa dukungan infrastruktur yang memadai, digitalisasi pertanian berisiko hanya menjadi jargon yang gagal menjangkau akar rumput. Oleh karena itu, strategi pembangunan pertanian harus mengadopsi pendekatan yang fleksibel dan kontekstual yang dalam literatur disebut sebagai agricultural agility. Artinya, pemerintah perlu memahami bahwa transformasi digital harus disertai pembenahan infrastruktur dasar agar mampu diakses oleh seluruh lapisan petani, terutama mereka yang tinggal di daerah tertinggal.

Selain itu, pengalaman lapangan sering kali menjadi sumber daya yang lebih tangguh dan relevan dibanding sekadar pengetahuan teoritis dari bangku pendidikan. Banyak petani muda yang meskipun tidak berpendidikan tinggi, memiliki intuisi, ketekunan, dan kearifan lokal yang kuat dalam menghadapi tantangan pertanian. Mereka memahami pola cuaca, musim tanam, dan dinamika pasar karena telah lama berkecimpung dalam dunia pertanian. Pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mengakui hal ini dan merancang pelatihan serta kebijakan berbasis pengalaman nyata, bukan sekadar menyalurkan bantuan kepada kelompok yang terdokumentasi secara administratif. Kebijakan yang responsif dan berpihak pada keadilan sosial akan memastikan bahwa transformasi pertanian tidak hanya berlangsung di seminar dan dokumen program, tetapi benar-benar dirasakan oleh para petani di lapangan.

Petani milenial sejati bukan hanya mereka yang tampil di panggung-panggung forum atau viral di media sosial dengan konten pertanian modern. Mereka juga adalah para pemuda desa yang bekerja senyap di sawah, menanam padi, mengolah tanah, dan menjaga ketahanan pangan tanpa sorotan. Oleh karena itu, ketahanan pangan nasional tidak akan tercapai jika program-program pemerintah hanya menyasar kelompok terbatas. Diperlukan kebijakan yang inklusif dan responsive yang mengintegrasikan teknologi, pembenahan infrastruktur dasar, kepekaan sosial, serta pengakuan terhadap pengalaman dan pengetahuan lokal. Jika hal ini dapat diwujudkan, maka regenerasi petani dan ketahanan pangan bukan lagi menjadi wacana, melainkan kenyataan yang menyatu dalam denyut nadi kehidupan desa dan masa depan bangsa.

Selain tantangan struktural seperti akses teknologi dan infrastruktur, masalah lain yang tak kalah penting adalah soal komunikasi dan kepercayaan antara petani, pemerintah, dan lembaga terkait. Berdasarkan realitas di lapangan, terungkap bahwa tidak semua kebutuhan komunikasi dalam kegiatan pertanian dapat diselesaikan hanya melalui sarana teknologi digital seperti telepon atau video call. Di banyak wilayah pedesaan, akses internet masih terbatas, sehingga komunikasi efektif justru mengandalkan pertemuan langsung secara tatap muka, baik antarpetani maupun antara petani dan penyuluh lapangan. Hal ini menuntut waktu, biaya, dan tenaga tambahan, yang sering kali tidak diperhitungkan secara adil dalam perancangan program pemerintah. Ketika pemerintah mencanangkan program pertanian digital, tetapi infrastruktur dasar seperti jaringan internet dan transportasi tidak diperbaiki, maka program tersebut cenderung tidak efektif di tingkat pelaksana.

Selain itu, persoalan efektivitas program juga dipengaruhi oleh ketimpangan informasi di kalangan petani sendiri. Tidak semua petani milenial mendapatkan informasi atau akses terhadap bantuan atau pelatihan yang diberikan pemerintah. Ada kecenderungan bahwa program-program pertanian lebih banyak menyasar kelompok-kelompok terpilih atau mereka yang sudah memiliki koneksi atau kedekatan dengan lembaga pelaksana program. Di sisi lain, petani-petani muda yang sudah terjun langsung di lapangan justru sering tidak terlibat karena minim akses informasi dan komunikasi. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan di kalangan petani terhadap program pemerintah, terutama ketika bantuan atau subsidi tidak sampai kepada pihak yang benar-benar membutuhkan. Hal ini memperkuat persepsi bahwa program pertanian hanya formalitas di atas kertas dan tidak menyentuh akar persoalan di lapangan.

Kepercayaan menjadi kunci penting dalam implementasi program regenerasi petani milenial. Banyak petani masih ragu terhadap janji pemerintah karena sebelumnya ada program bantuan atau pelatihan yang realisasinya tidak sesuai harapan. Misalnya, program penyuluhan yang diselenggarakan hanya melibatkan kelompok tertentu dan tidak memperhatikan petani yang benar-benar aktif di lapangan. Ada juga kasus di mana dana bantuan pertanian disalurkan tidak langsung kepada petani penerima, tetapi melalui kelompok atau perantara, sehingga manfaatnya tidak maksimal. Ketiadaan bukti nyata keberhasilan program-program tersebut membuat petani enggan berpartisipasi dalam program baru yang ditawarkan pemerintah.

Selain kepercayaan, persoalan budaya dan persepsi sosial juga mempengaruhi. Di beberapa komunitas, profesi petani masih dianggap sebagai pekerjaan rendahan yang tidak memberikan masa depan cerah. Stereotip ini turut mempengaruhi rendahnya partisipasi generasi muda dalam sektor pertanian. Bahkan ketika program petani milenial digalakkan, sebagian anak muda lebih memilih bekerja di sektor lain seperti pabrik atau perkantoran yang dianggap lebih bergengsi dan menjanjikan penghasilan tetap. Padahal, dalam praktiknya, banyak petani muda di desa yang sudah mulai mengembangkan pola bertani yang mandiri, memahami musim, kebutuhan pupuk, hingga pemasaran hasil panen secara lokal. Namun sayangnya mereka tidak terdata dalam program resmi karena dianggap tidak sesuai kriteria formal, seperti kepemilikan legalitas lahan, keanggotaan kelompok tani, atau penggunaan teknologi digital tertentu.

Kondisi ini mencerminkan adanya kesenjangan antara realitas di lapangan dan desain program pemerintah. Di atas kertas, program-program pertanian tampak menjanjikan, tetapi dalam praktiknya masih belum menyentuh kebutuhan riil petani muda di desa. Oleh sebab itu, pembangunan pertanian berbasis petani milenial harus melibatkan pemahaman kontekstual atas dinamika sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat desa. Program pertanian tidak cukup hanya berbasis teknologi atau bantuan finansial, tetapi harus diiringi dengan pendampingan yang berkelanjutan, pembenahan infrastruktur, serta penguatan kepercayaan antara petani dan pemerintah.

Jika hal-hal ini diabaikan, maka regenerasi petani hanya akan menjadi wacana yang gagal menjawab persoalan pokok di tingkat akar rumput. Sebaliknya, jika pemerintah mampu menyusun kebijakan yang responsif, inklusif, dan berbasis realitas lapangan seperti memperbaiki jalur distribusi bantuan, membuka akses informasi secara merata, melibatkan petani lokal dalam perumusan kebijakan, serta menumbuhkan kepercayaan melalui transparansi program maka transformasi pertanian berbasis petani milenial dapat menjadi kenyataan. Dengan demikian, cita-cita ketahanan pangan nasional tidak lagi bergantung pada impor atau intervensi pasar global, tetapi bertumpu pada kemandirian dan kekuatan lokal yang sejati.