Thursday, 26 June 2025 , Admin
Gerakan mahasiswa saat ini menghadapi tantangan besar yang sangat kompleks, terutama terkait dengan depolitisasi dan kapitalisasi pendidikan yang semakin menguat. Kondisi ini membuat perjuangan mahasiswa sering kali kehilangan arah dan substansi, sehingga gerakan yang seharusnya menjadi motor perubahan sosial justru terjebak dalam dinamika yang kurang produktif. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak organisasi non-profit, termasuk yang beroperasi di lingkungan kampus, masih sangat bergantung pada lembaga-lembaga politik melalui berbagai bentuk bantuan dan dukungan. Ketergantungan ini, meskipun tampak sebagai sumber daya yang membantu, pada akhirnya dapat mengikis kredibilitas mahasiswa sebagai agen perubahan yang independen dan kritis. Sebagian besar kegiatan mahasiswa memang tidak bisa dilepaskan dari unsur politik, tetapi ironisnya, banyak mahasiswa yang terbentuk dari doktrin-doktrin tertentu yang membatasi kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan mandiri. Hal ini berpotensi menjadikan mahasiswa sebagai alat politik yang kehilangan daya kritisnya.
Lebih jauh lagi, kapitalisasi pendidikan dan kesehatan yang terjadi saat ini menjadi bumerang bagi masyarakat luas. Pendidikan dan kesehatan, yang seharusnya merupakan hak dasar setiap warga negara, kini dikomersialisasikan sehingga aksesnya semakin sulit dijangkau oleh kalangan yang kurang mampu. Situasi ini memperburuk ketimpangan sosial dan menimbulkan persoalan baru yang harus dihadapi oleh gerakan mahasiswa. Dalam konteks tersebut, artikel “Agar Gerakan di Kampus tidak Mampus” mengangkat isu krisis identitas gerakan mahasiswa yang masih terjebak dalam mitos "mahasiswa super" yang diwariskan dari era Orde Baru. Mitos ini memosisikan mahasiswa sebagai kekuatan moral yang terpisah dari rakyat, sehingga politik kampus menjadi arena perebutan kekuasaan simbolis yang tidak memberikan dampak struktural nyata bagi perubahan sosial. Selain itu, masuknya organisasi eksternal seperti ormas dan ornop ke dalam kampus dengan menggunakan politik identitas dan pendanaan sebagai alat intervensi menciptakan ketergantungan yang berbahaya bagi independensi gerakan mahasiswa.
Dari sudut pandang Marxis, mahasiswa diposisikan sebagai cadangan tenaga kerja yang diproduksi oleh sistem pendidikan kapitalis. Pendidikan tinggi kini berfungsi sebagai pabrik penyedia tenaga kerja murah untuk industri, bukan sebagai ruang pembebasan dan pengembangan kritis. Oleh karena itu, perjuangan mahasiswa harus diarahkan pada aliansi strategis dengan kelas pekerja, seperti buruh pabrik, petani, dan aparatur sipil negara, yang menjadi basis massa yang lebih luas. Program lembaga kemahasiswaan perlu berfokus pada advokasi hak-hak buruh dan pendidikan politik yang kritis, sekaligus menolak kolaborasi dengan organisasi yang tidak berpihak pada kepentingan proletariat. Pendekatan ini diharapkan dapat menguatkan gerakan mahasiswa agar tidak terjebak dalam politik pragmatis yang hanya menguntungkan segelintir elit.
Selain itu, praktik demonstrasi mahasiswa saat ini juga mengalami kemunduran substansi. Banyak peserta aksi turun ke jalan tanpa benar-benar memahami mosi atau isu perjuangan yang diusung, sehingga aksi yang dilakukan lebih bersifat simbolik dan tidak berkelanjutan. Demonstrasi yang hanya menjadi tontonan atau ritual simbolis tidak akan mampu membawa perubahan yang berarti. Oleh sebab itu, diversifikasi taktik perjuangan sangat diperlukan, seperti memanfaatkan kampanye media sosial, petisi digital, dan riset kebijakan sebagai pelengkap aksi fisik. Strategi ini memungkinkan gerakan mahasiswa menjangkau khalayak yang lebih luas dan memberikan tekanan yang efektif kepada pengambil kebijakan tanpa harus selalu bergantung pada aksi massa di jalanan.
Pada akhirnya, keberhasilan gerakan mahasiswa tidak dapat diukur hanya dari pencapaian jangka pendek seperti pembatalan kebijakan tertentu, kenaikan anggaran pendidikan, atau kemenangan kandidat elektoral. Kemenangan sejati adalah perubahan sistemik yang mampu meruntuhkan kapitalisme sebagai sistem yang mengeksploitasi pendidikan dan tenaga kerja. Ini menuntut transisi dari aktivisme kampus yang elitis dan terfragmentasi menuju gerakan politik massa yang menyatu dengan perjuangan kelas pekerja secara luas. Mahasiswa harus mampu kembali ke ranah politik yang kritis dan strategis dengan memahami secara mendalam untuk apa mereka berpolitik dan apa tujuan perjuangan mereka. Dengan demikian, gerakan mahasiswa tidak akan mati di tengah jalan, melainkan menjadi motor perubahan yang nyata, relevan, dan berkelanjutan di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks. Gerakan mahasiswa yang kuat dan mandiri adalah kunci untuk menghadirkan perubahan sosial yang inklusif dan berkeadilan, terutama dalam menghadapi kapitalisasi pendidikan dan kesehatan yang terus membelenggu masyarakat.