Thursday, 27 November 2025 , Admin
PERTANIAN: PENGERTIAN, SEJARAH, DAN PERAN BAGI MANUSIA
Pertanian merupakan fondasi utama peradaban manusia yang telah mengalami perkembangan panjang sejak masa prasejarah hingga era modern. Aktivitas sederhana berupa bercocok tanam, pertanian berkembang menjadi sistem produksi pangan dan bahan baku yang kompleks yang melibatkan beberapa aspek seperti aspek biologi, ekonomi, teknologi, serta kebijakan publik. Jika dilihat dari adanya perspektif historis, evolusi sektor ini menunjukkan keterkaitannya dengan proses pembentukan masyarakat, stabilitas ekonomi, dan ketahanan suatu bangsa. Pertanian tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan produksi, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Telaah historis tentang pertanian menjadi sangat relevan dalam memahami dinamika pada perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Seperti yang kita ketahui pertanian itu terbagi menjadi 2 yaitu pertanian subsiten dan komersil. Pertanian subsisten adalah sistem pertanian yang bertujuan utama untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga petani sendiri, sehingga produksi yang dihasilkan umumnya berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, tenaga kerja keluarga, dan minim orientasi pasar. Sebaliknya, pertanian komersial adalah sistem pertanian yang berorientasi pada penjualan dan keuntungan, menggunakan lahan lebih luas, teknologi modern, input produksi tinggi, serta strategi manajemen yang terencana untuk meningkatkan produktivitas dan nilai jual. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada tujuan produksi, tingkat teknologi, skala usaha, serta pola distribusi hasil, di mana pertanian subsisten fokus pada ketahanan pangan keluarga, sedangkan pertanian komersial fokus pada efisiensi, profit, dan pemenuhan permintaan pasar.
Masa pra-sejarah yang menjadi fase awal kehidupan manusia di mana ketergantungan pada alam bersifat langsung tanpa proses budidaya. Keterbatasan sumber makanan dan tekanan demografis mendorong terjadinya transisi menuju kegiatan bercocok tanam sederhana. Di Nusantara, bukti arkeologis memperlihatkan bahwa padi mulai dibudidayakan sekitar 1500 SM, yang menandai perkembangan sistem produksi pangan awal. Peralihan menuju kehidupan menetap memungkinkan munculnya struktur sosial yang lebih stabil, pembagian kerja, serta penyimpanan hasil panen. Hal ini merupakan dasar terbentuknya komunitas agraris yang kemudian berkembang menjadi masyarakat yang lebih kompleks.
Menurut Yuval Noah Harari dalam Sapiens, revolusi pertanian sebenarnya merupakan sebuah “jebakan” karena meskipun manusia tampak berhasil mendomestikasi tanaman dan hewan, justru manusialah yang akhirnya terdomestikasi oleh kewajiban untuk menetap, merawat, dan bekerja lebih keras demi mempertahankan sistem pangan yang mereka bangun. Harapan untuk menciptakan keamanan pangan melalui pertanian berubah menjadi bumerang ketika kehidupan menetap mendorong meningkatnya angka kelahiran, sehingga populasi bertambah dan kebutuhan pangan melonjak. Akibatnya, manusia harus mengerahkan lebih banyak tenaga dan waktu untuk mengolah lahan, menjaga tanaman, dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus bertambah, menjadikan kehidupan mereka sering kali lebih berat dibandingkan para pemburu-peramu yang hidup lebih bebas dan fleksibel.
Memasuki era kerajaan Nusantara, pertanian menjadi sektor utama yang menopang keberlangsungan ekonomi-politik kerajaan besar seperti Majapahit, Sriwijaya, dan berbagai kerajaan di Jawa dan Bali. Pengelolaan lahan dilakukan lebih terorganisir dengan dukungan teknologi irigasi dan pembagian kerja yang lebih terstruktur. Sistem Subak di Bali merupakan contoh manajemen irigasi tradisional yang menunjukkan tingginya pemahaman masyarakat terhadap tata kelola sumber daya air. Selain menghasilkan pangan, pertanian juga menjadi komoditas perdagangan yang berperan penting dalam hubungan ekonomi antarwilayah. Kemajuan ini menandakan bahwa pertanian telah menjadi faktor kunci kemajuan atau kemunduran suatu kerajaan.
Perkembangan tersebut mengalami perubahan drastis ketika masa kolonialisme memasuki Nusantara, terutama setelah diberlakukannya Cultuurstelsel (tanam paksa) pada 1830. Sistem tanam paksa ini mengharuskan petani menanam komoditas ekspor seperti kopi, teh, dan tebu sehingga mengurangi alokasi lahan untuk tanaman pangan. Dampaknya adalah terjadinya tekanan ekonomi, penurunan kesejahteraan petani, dan munculnya berbagai bencana kelaparan di beberapa wilayah. Kolonialisme mengubah struktur agraria nasional dan menciptakan ketimpangan sosialekonomi yang panjang. Pada periode colonial yang menjadi fase kritis yang memberikan dampak jangka panjang pada perkembangan pertanian Indonesia.
Pada masa kolonial membawa beberapa infrastruktur dan teknologi irigasi yang kemudian dimanfaatkan pada masa kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah dihadapkan pada tantangan membangun ulang sektor pertanian yang rusak akibat kebijakan kolonial. Upaya penguatan ketahanan pangan menjadi prioritas utama karena pertanian dipandang sebagai instrumen stabilitas politik dan ekonomi nasional. Program-program peningkatan produktivitas mulai digagas melalui intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Di fase ini, pemerintah juga mulai memperkuat lembaga-lembaga pertanian, seperti penyuluhan dan lembaga penelitian, sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional.
Periode Revolusi Hijau pada 1960-1980 menjadi titik penting dalam modernisasi pertanian Indonesia. Pemerintah memperkenalkan varietas unggul berdaya hasil tinggi, meningkatkan sistem irigasi teknis, serta memperluas penggunaan pupuk dan pestisida. Kebijakan mekanisasi pertanian turut mempercepat proses produksi dan panen sehingga meningkatkan efisiensi kerja petani. Puncak keberhasilan dari berbagai program tersebut ditandai dengan tercapainya swasembada beras pada pertengahan 1980-an. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa integrasi teknologi dan dukungan kebijakan dapat menghasilkan peningkatan produksi secara signifikan.
Keberhasilan Revolusi Hijau juga menyisakan persoalan baru, seperti degradasi tanah, ketergantungan pada input kimia, serta kerentanan sistem terhadap perubahan iklim. Tantangan tersebut menjadi semakin nyata memasuki abad ke-21 ketika dinamika global seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan alih fungsi lahan terus meningkat. Pertanian harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi yang terus berubah, sehingga memerlukan pendekatan berkelanjutan dan inovatif. Pemerintah mulai mengarahkan kebijakan pada diversifikasi pangan, konservasi lahan, dan mitigasi perubahan iklim. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian modern tidak dapat lagi hanya berorientasi pada peningkatan hasil produksi semata.
Kemudian, kalau kita melihat aktivitas penggunaan teknologi pertanian memiliki pro dan kontra yang perlu dipertimbangkan secara seimbang. Di satu sisi, teknologi seperti mesin modern mampu meningkatkan efisiensi kerja, menekan biaya jangka panjang, serta memperbaiki kualitas dan kuantitas produksi. Namun di sisi lain, penerapan teknologi sering terkendala biaya investasi yang tinggi sehingga sulit dijangkau petani kecil, berpotensi mengurangi lapangan kerja tradisional, dan dapat menimbulkan ketergantungan pada alat maupun sistem digital yang rawan mengalami gangguan. Selain itu, beberapa teknologi seperti pestisida kimia atau rekayasa genetika juga memunculkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi pertanian perlu dilakukan dengan bijak agar manfaatnya dapat dirasakan luas tanpa mengorbankan keberlanjutan sosial dan ekologis.
Integrasi teknologi digital menjadi salah satu inovasi penting dalam pertanian modern di Indonesia. Penggunaan drone untuk pemetaan lahan, sensor IoT untuk memonitor kondisi tanah dan tanaman, kecerdasan buatan untuk prediksi cuaca dan hama, serta platform digital untuk pemasaran dan manajemen usaha tani mulai diterapkan di berbagai daerah. Teknologi ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih presisi berdasarkan data, sehingga meningkatkan efisiensi dan meminimalkan risiko gagal panen. Platform digital untuk pemasaran hasil pertanian membuka peluang distribusi yang lebih luas, sehingga petani dapat menjangkau konsumen secara langsung tanpa bergantung pada tengkulak. kehadiran teknologi tidak hanya mempermudah proses budidaya, tetapi juga memperkuat posisi petani dalam rantai nilai agribisnis. Selain itu, keberadaan urban farming melalui hidroponik, vertikultur, dan akuaponik juga dapat memperluas akses masyarakat terhadap produksi pangan lokal. Transformasi digital ini menandai pergeseran pertanian dari aktivitas tradisional menuju ranah industri yang lebih modern dan kompetitif.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, peran pertanian tetap sangat vital dalam kehidupan manusia dan pembangunan nasional. Pertanian menjadi penyedia utama pangan, sumber pendapatan bagi jutaan masyarakat, serta penggerak ekonomi melalui komoditas ekspor unggulan. Sektor ini juga berfungsi menjaga kelestarian lingkungan melalui praktik agroforestri,pertanian organik, dan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Nilai sosial budaya dalam pertanian seperti gotong royong, kearifan lokal, dan ritual tradisional turut memperkaya dimensi kehidupan masyarakat pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa pertanian memiliki fungsi multidimensi yang melampaui sektor ekonomi belaka.
Perjalanan panjang tersebut telah membuktikan bahwa pertanian sebagai sektor strategis yang tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan bangsa. Evolusinya dari masa berburu hingga era modern mencerminkan kemampuan adaptif masyarakat dalam menghadapi perubahan lingkungan dan dinamika sosial. Kedepannya, pembangunan pertanian harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan, inovasi teknologi, serta pemberdayaan petani sebagai subjek utama pembangunan. Dengan strategi yang tepat, pertanian Indonesia berpotensi menjadi sektor berdaya saing tinggi dan mampu menjawab tantangan global karena penguatan sektor pertanian merupakan langkah krusial dalam mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan nasional jangka panjang.