WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 - Riska Maulina Muchsen


Friday, 22 February 2019 , Admin

WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 - Riska Maulina Muchsen

TENTANG WACANA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Pada tulisan ini saya akan mencoba memaparkan apa yang saya ketahui tentang Industri 4.0 yang menjadi perbincangan yang hangat di berbagai kegiatan pendidikan. Berhubung telah banyak yang mengulas tentang apa  itu  Revolusi Industri 4.0. Baiklah saya akan menjelaskan beberapa kata artian tentang  Revolusi Industri 4.0 adalah Generasi yang saat ini semakin bergantung pada teknologi yang karenanya muncul pola aktivitas yang cenderung konsumtif daan Manusia yang sangat bergantung pada teknolog Oleh karena itu Revolusi Industri 4.0 ini tentu memiliki dampak positif dan negatif. Hanya saja dampak negatifnya sering kali menjadi pembicaraan pokok karena itulah yang akan menjadi kesiapan bersama untuk menghadapi revolusi industri 4.0 ini. 


Industri 4.0 adalah  Yang dapat kita pahami bersama, bahwa melalui penemuan artificial inteligence dan internet of things, telah menghasilkan dampak efisiensi pada ranah produksi. Narasi yang kerap dibawakan ketika membicarakan efisiensi adalah pengurangan tenaga kerja, sebab mesin akan menggantikan manusia. Ancaman ini sungguh terjadi, dan dapat kita lihat sendiri contohnya pada 1300 pekerja penjaga gerbang tol yang dimutasi dan di-PHK, karena penggunaan e-toll yang tak lagi membutuhkan tenaga kerja untuk melayani konsumen di gerbang tol.

Sejak Revolusi Industri 4.0 ini dianggap sebagai masalah karena belum siapnya masyarakat menghadapi ini, sejak itu pula pemerintah mencoba merumuskan solusi. Salah satu rumusan yang kerap kita dengar untuk menghadapi masalah  adalah dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan vokasional atau kejuruan.

Solusi di atas sebenarnya bukan hal baru. Saya pertama kali mengetahui bahwa pendidikan vokasional akan diprioritaskan sejak terbitnya Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Bahwa rasio jumlah SMK dan SMA diharapkan akan ditargetkan menjadi 70:30. Harapannya agar ada banyak manusia Indonesia yang siap untuk mengisi pos industri yang di masa depan akan tumbuh pesat, sebagai efek dari pembangunan konektivitas infrastruktur. Pemerintah era Jokowi-JK melanjutkan gagasan tersebut dengan memberi perhatian khusus pada pendidikan vokasional di perguruan tinggi.

Namun sepertinya solusi pemerintah dalam memberi perhatian pada pendidikan vokasional belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Data BPS menunjukkan terjadi kenaikan angka pengangguran yang disumbangkan oleh perguruan tinggi vokasional atua diploma, yakni sebanyak 195.258 orang pada tahun 2014 menjadi 249.705 pada tahun 2017.

***

Pada pola yang demikian itu, peran lembaga pendidikan adalah menjawab persoalan, apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan di masa depan? Perguruan tinggi yang menerima mahasiswa baru angkatan 2019 misalnya, harus punya proyeksi kebutuhan masyarakat dan jenis pekerjaan pada 2023. Sehingga ketika mahasiswa angkatan 2019 tadi lulus, maka tidak ada lagi persoalan mismatch separah sebelumnya.

Dengan memahami pola tadi, maka seharusnya tugas perguruan tinggi tidak untuk memenuhi permintaan industri. Sebab industri terus berkembang, dan oleh karenanya pendidikan akan selalu tertinggal. Tugas pendidikan harus lebih mulia dari itu, yakni menemukan solusi atas permasalahan masyarakat secara lintas bidang keilmuan. Ini artinya perguruan tinggi akan senantiasa menciptakan industri baru, pekerjaan baru. Manakala perguruan tinggi tidak
harus menyesuaikan diri dengan permintaan industri, dengan sendirinya
 jumlah mismatch melenyap.

***

Di timeline media sosial pernah ada yang membagikan tautan berita yang kurang lebih berjudul Jokowi Minta Perguruan Tinggi Hapus Fakultas yang Sudah Usang. Sebetulnya, yang menarik adalah komentar dari berita itu.
Fakultas filsafat menjadi bahan guyonan orang-orang. Seolah di masa depan, keberadaan filsafat, atau bisa dibilang ilmu sosial-humaniora secara umum
menjadi tidak relevan.

Saya tidak yakin Revolusi Industri 4.0 akan diterapkan di Indonesia secara optimal dalam waktu dekat. Meski demikian percakapan publik sudah membahas hal demikian sekarang-sekarang ini. Percakapan publik hari ini cenderung mengarah bagaimana kesiapan masyarakat menghadapi Revolusi Industri 4.0. Siap di sini adalah soal menyesuaikan zaman. Cara kita menyesuaikan “zaman” persis seperti orang gumun. Tidak hanya gumun, tapi juga latah. Semua kampus membicarakan Revolusi Industri 4.0 dengan narasi yang mirip satu sama lain: bahwa kita harus kreatif, inovatif, berdaya saing, dsb. Hal yang kerap luput dalam percakapan perihal Revolusi Industri 4.0 adalah soal
nasib kemanusiaan kita.

Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat saat ini tengah mengalami polarisasi akibat bangkitnya sentimen politik rasis dan fasis. Tengok saja kebijakan dan retorika Donald Trump yang sangat seksis, islamofobia, anti-imigran, heteronormatif, dan pro-supremasi kulit putih. Ataupun kebangkitan partai sayap kanan di Eropa seperti di Jerman, Perancis, Polandia, hingga
Yunani. Padahal Amerika Serikat dan Eropa sudah lebih dulu memasuki
fase Revolusi Industri 4.0.

Teknologi hanyalah alat, yang tujuannya bisa diarahkan tergantung penggunanya. Di tangan orang biadab, gawai bisa digunakan untuk mengirim pesan hoax ke grup-grup keluarga, merekam dan menyebarkan foto bugil mantan, hingga merekrut orang ke jaringan teroris.

Pada porsi inilah sosial-humaniora mesti mengisi problem yang tidak dicakup narasi Revolusi Industri 4.0 secara umum. Sebab robot bukan makhluk berbudaya, tidak punya hati, tidak punya kemanusiaan. Robot tidak bisa menjawab persoalan ketimpangan akses terhadap lahan, ketidakadilan karena diskriminasi gender, ras, klas sosial, dsb. Robot tidak bisa menciptakan gerakan sosial. Ini artinya rumpun ilmu sosial-humaniora tidak hanya relevan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, namun juga menentukan wajah kemanusiaan, menentukan nasib demokrasi ke depannya.

Apabila nanti tidak ada lagi buruh, tidak ada relasi kerja upahan, maka darimana permintaan pasar untuk produk para kapitalis akan datang? Siapa yang akan membeli berbagai barang yang diproduksi oleh para robot? Tanpa ada yang membeli komoditi, alias barang-barang tidak ada yang laku, maka yang terjadi adalah krisis.

Memang terdapat beberapa keraguan terhadap masa depan Revolusi Industri 4.0 yang ditulis oleh Prof Paul Krugman pada 2013 (A New Industrial Revolution; the Rise of the Robot) bahwa penggunaan mesin pintar memang dapat meningkatkan PDB (Product Domestic Brutto). Namun, pada saat yang sama, hal tersebut akan dapat mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja, termasuk orang-orang yang pintar sekalipun. Tapi, semua itu tidak terjadi seketika, pasti ada tahapan-tahapannya. Selama proses yang panjang itu terjadi, maka perdebatan tentang Revolusi Industri 4.0 akan terus berlangsung.

Masyarakat kapitalis seperti yang kita ketahui hanya bisa hidup dari profit. Profit  dalam masyarakat kapitalis tidak bisa diperoleh hanya dengan mengandalkan mesin, sekalipun mesin itu memproduksi komoditasnya sendiri. Sebab mesin tidak menghasilkan nilai (value), curahan kerja lah yang menghasilkannya. Otomatisasi dalam kerangka Revolusi Industri 4.0, jika itu dimaksudkan menggantikan kerja manusia dengan robot, bertentangan dengan corak produksi kapitalis.

Satu hal yang sudah pasti bahwa Revolusi Industri 4.0 telah datang di tengah-tengah kita dan kita tak mungkin lagi menolak atau menghindarinya. Proses ini akan terus berjalan di tengah kemampuan atau bahkan ketidakmampuan kita menepis dampak negatifnya. Tapi Marxisme berasal dari rumpun pemikiran sosial-politik yang bersumber dari Karl Marx dan Friedrich Engels, tidak hanya relevan dengan pembahasan Revolusi Industri 4.0. Perjuangan klas proletariat untuk menghapus kepemilikan pribadi atas alat produksi, melakukan kolektifisasi dan kontrol demokratis atas alat produksi, dapat mendorong Revolusi Industri 4.0 menjadi mungkin terealisasi secara penuh bagi umat manusia . Di Indonesia  masyarakat Aceh yang menjalankan syariat Islam secara kafah dan memiliki ketahanan budaya yang kuat, saya yakin, akan mampu menepis, minimal memperkecil dampak negatif dari Revolusi Industri 4.0 ini

Sumber Referensi :

1Berita Satu TV: Berharap dari Pendidikan Vokasi #1https://youtube.com/w10SKuSvq8u

21http://tirto.id/nasib-pendidikan-vokasi-yang-masih-dipandang-sebelah-mata-cPGw

3https://www.businessinsider.sg/tesla-grew-rapidly-now-cutting-4000-employees-charts-2018-6/

4http://www.theguardian.com/technology/2017/may/18/tesla-workers-factory-conditions-elon-musk   

5Peluang dan Tantangan Era Revolusi Industri 4.0,  http://aceh.tribunnews.com/2018/11/27/peluang-dan-tantangan-era-revolusi-industri-40?page=all.