Kajian Kontemporer Pertanian di Masa Pandemi COVID-19


Saturday, 19 June 2021 , Admin

Kajian Kontemporer Pertanian di Masa Pandemi COVID-19

Oleh : Adriyanto Rahman Salim

Nim : G021181039

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persoalan kontemporer ialah hal yang terjadi dimasa kini, yang bisa ditafsirkan bersama yaitu sebuah pembicaraan yang sedang atau sering bermunculan saat ini mengenai aktivitas khususnya di masa Pandemi Covid-19. Lebih spesifik pada aktivitas pertanian, kontemporer pertanian berarti membahas hal yang saat ini menjadi perbincangan publik dalam menanggapi aktivitas pertanian yang ada.

Mengenai hal tersebut, saya secara subjektif memandang berbagai persoalan yang hadir terkait aktivitas pertanian dimasa Pandemi COVID-19. Oleh sebabnya saya mengusul beberapa poin sebagai fokus kajian yang tidak harus dipandang negatif maupun positif melalui beberapa metode pengolahan informasi yang saya gunakan adalah sebagai berikut :

Ketimpangan Kebijakan Impor Beras

Seperti yang diketahui bersama, persoalan impor beras merupakan salah satu yang paling sering diperbincangkan. Hal ini karena masyarakat memandang bahwa hasil tani khususnya tanaman padi itu tidak kurang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan tetapi dalam proses pengawasan, pendistribusian, serta pengolahannya selalu menjadi perdebatan panjang. Pasalnya, beberapa kebijakan yang hadir mengenai kegiatan impor, seolah-olah mengecilkan suara masyarakat tani lokal.

Informasi yang paling hangat saat ini ialah mengenai akan dikeluarkannya kebijakan pengadaan Impor Beras sebesar 1 Juta Ton, yang memunculkan polemik tentang bagaimana rencana kebijakan tersebut hadir atas asumsi Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi secara khusus yaitu berasal dari alibi ketakutan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, kemudian menganggap gabah petani di Indonesia banyak yang basah akibat curah hujan yang tinggi, bahkan beliau siap mundur jika keputusannya salah.

Akan tetapi hal tersebut terbentur dengan kondisi yang disampaikan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengatakan “Stok hingga akhir Desember lalu mencapai 7.389.575 ton. Sementara perkiraan produksi dalam negeri pada panen raya ini mencapai 17.511.596 ton sehingga jumlah stok beras hingga akhir Mei mencapai 24.901.792 ton. Jumlah tersebut lebih dari cukup karena estimasi kebutuhan sekitar 12.336.041 ton”, kemudian hal serupa disampaikan Direktur Utama Perum Bulog melalui pengakuannnya yang bingung dengan rencana impor beras tersebut. Budi Waseso mengaku tak tahu menahu perihal kebijakan rencana impor beras ini. Ia mengaku menerima perintah mendadak dari Menteri Perdagangan dan Kemenko Perekonomian. Padahal, saat rapat koordinasi bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebelumnya tidak pernah membahas soal impor beras.

Perlu diketahui bahwa kebijakan impor yang dilakukan tanpa melihat berbagai perspektif masyarakat akan mengakibatkan kerancuan dalam mengambil keputusan. Dampak yang akan terjadi ialah harga beras yang tidak stabil dengan adanya beras impor menghardik pemikiran masyarakat utamanya petani yang akan kesulitan menjual hasil taninya baik berupa gabah maupun beras karena harus bersaing dengan beras impor subsidi pemerintah. Oleh karenanya hal tersebut selalu menjadi polemik, pasalnya kebutuhan masyarakat dimasa pandemi COVID-19 dan persiapan bencana yang dijadikan iming-iming terjalankannya kegiatan Impor Beras.

Terlebih lagi, kondisi masyarakat tani yang dikesampingkan. Kemudian masyarakat bertanya, Kenapa bukan Beras Petani Lokal saja yang disubsidi oleh Pemerintah kemudian diolah oleh Bulog? Dengan asumsi bisa mempertahankan eksistensi beras lokal dan mewujudkan kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat tani.

Investasi Pertanian

Disamping terjadinya krisis ekonomi saat pandemi Covid-19 ini terutama yang menyerang sektor pertanian, akan tetapi tidak menutup mata tentang hal itu perlu diketahui bahwa adanya berbagai persaingan ekonomi nasional hingga internasional dalam kegiatan investasi yang dilakukan oleh berbagai strata masyarakat sipil dan dinilai mampu mendorong produktivitas kegiatan pertanian.

Perlu diketahui sebelumnya, investasi dijelaskan sebagai penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Dimasa pandemic seperti saat ini, pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat umum dengan berbagai pertimbangannya ikut berada dalam kegiatan pasar model tersebut, alibi mengatur keuangan dengan baik dimasa pandemi karena terjadinya degradasi perkembangan ekonomi baik secara subjektif maupun objektif tetap dipandang sebagai hal yang harus dilakukan demi menjaga stabilitas ekonominya.

Terlebih dengan kemajuan teknologi, kegiatan pasar modal tersebut lebih mudah diakses karena bisa dilakukan secara online. Hal ini mendukung asumsi peningkatan teknologi akan menjadi peluang ataupun ancaman bagi generasi, terlepas kegiatan yang dilakukannya ialah bukan kesalahan dan bahkan mampu membantu pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kegiatan pasar modal dimasa pandemi sangat signifikan terlihat, utamanya dalam pengaruh pemuda khususnya mahasiswa sebagai pelaku dalam kegiatan pasar modal tersebut.

Pergerakan pasar modal yang baik dalam sektor pertanian akan menunjukkan peningkatan dalam kesejahteraan pangan dengan asumsi pasar modal sebagai motorik pembangunan pertanian berkelanjutan yang bisa menjadikan hasil tani tidak dipandang sebelah mata lagi tapi dipandang sebagai hal yang pokok dimiliki oleh kebutuhan hidup masyarakat.

Mengambil contoh kasus salah satu Startup yang bergerak dalam kegiatan pertanian khususnya dalam pergerakan pasar modal yaitu TaniHub. Dilansir dari Liputan6.com, Startup pertanian TaniHub Group baru saja mendapatkan pendanaan senilai USD 65,5 juta atau sekitar Rp 932 miliar (asumsi kurs Rp 14.241) dalam rangka mendukung ekspansi bisnis. CEO TaniHub Group Pamitra Wineka mengatakan, perusahaan akan menggunakan sebagian besar dana yang didapat untuk memaksimalkan produksi melalui pembangunan infrastruktur pertanian.

Dari contoh kasus diatas, bisa kita lihat bersama bagaimana upaya yang akan dibangun dalam menggerakkan pembangunan pertanian berkelanjutan dimulai dari infrastruktur dan teknologi melalui kegiatan pasar modal yang dinilai mampu menyatukan suara masyarakat dari berbagai strata kelas dalam memandang kebutuhan pertanian yang harus diperhatikan. Akan tetapi, Apakah mungkin kegiatan Pasar Modal tidak dilandasi pada keinginan terselubung dan berakhir pada kerusakan lingkungan? Dengan upaya pembangunan infrastrktur pertanian.

Minat Bertani

Minat bertani selalu menjadi kekhawatiran jangka panjang, dibenturkan dengan realitas kehidupan berupa perubahan kondisi generasi. Layaknya hari ini, banyak petani dengan umur diatas 50 tahun, kondisi para petani yang tidak produktrif lagi dengan melihat umur tersebut, kemudian dihadapkan dengan kurangnyaminat bertani para pemuda karena menganggap petani sebagai profesi strata sosial menengah kebawah ketika dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja di kantoran. Hal ini terjadi karena, tidak terjaminnya kehidupan bersahaja bagi para petani dipandang/dilihat dari aktivitas masyarakat dan kehidupan masyarakat tani yang hingga saat ini sangat minim petani dengan kualitas hidup strata menengah keatas.

Dalam tulisan Muh. Isbahuddin dengan judul “Generasi Muda Enggan Bertani” pada bagian “Mengapa?”, ia menuliskan ada 2 faktor penyebabnya yaitu Ketiadaan Konstruk Media dan Bertani Kurang Menjamin Keuntungan yang Banyak. Menanggapi tulisan tersebut, mungkin saja saat itu kegiatan pertanian masih dalam kondisi keterbatasan konstruk media akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir hal itu terjawabkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengindikasi pentingnya media sebagai upaya membangun kesadaran masyarakat terhadap kepeduliannya dengan aktivitas pertanian, jika dilihat sudah sangat banyak media yang menjadi penyebar informasi aktivitas pertanian saat ini. Kemudian yang perlu diperhatikan hingga saat ini ialah pada faktor kedua dituliskan Muh. Isbahuddin yang masih sangat relevan dengan kejadian saat ini dimana profesi sebagai petani tidak bisa mewujudkan kesejahteraan yang diinginkan dengan berbagai pembuktian yang menunjukkan minoritasnya jumlah petani yang mampu mencapai kelas strata ekonomi menengah keatas, sehingga minat pemuda untuk bertani menjadi menciut karena ketakutannya dalam melihat kondisi realitas petani saat ini

Usut punya usut, yang menjadi benturannya ialah kebijakan pemerintah yang dinilai kurang pro dengan masyarakat tani, utamanya dalam pasar pertanian. Pasar pertanian hingga saat ini tidak pernah menjadi polemik, seperti yang kita ketahui bahwa hasil tani merupakan sumber kehidupan pokok bagi masyarakat dunia. Akan tetapi menanggapi hal tersebut, ketimpangan selalu terjadi jika dibenturkan dengan kegiatan impor hasil tani yang dilakukan pemerintah. Dampak kebijakan impor pertanian selalu menjadi masalah dalam Pasar Pertanian karena apabila kegiatan impor secara terus-menerus dijadikan pembanding antara hasil pertanian lokal dengan alibi kualitas hasil tani lokal. Alhasil, bisa mempengaruhi harga produk hasil dari petani lokal yang selalu dibenturkan dengan kualitasnya. Dalam hal ini, berbagai perspektif muncul dengan berbagai kondisinya, alhasil tidak terjadi upaya perbaikan mutu hasil pertanian melalui kegiatan pengawalan dan pengawasan untuk mencapai hasil tani yang maksimal dalam persaingan hasil tani oleh pemerintah dalam upayanya mewujudkan masyarakat sejahtera.

Melihat berbagai kondisi yang dituliskan sebelumnya, apakah mungkin petani akan maju dan mencapai kesejahteraannya? Ataukah hanya terus seperti itu saja? Petani itu aktor, masyarakat umum sebagai penonton, kemudian pemerintah penjual tiketnya?

Perkembangan Teknologi Pertanian

Dalam beberapa tahun terakhir, kementerian pertanian berfokus pada pengadaan sarana dan prasarana pertanian khususnya pada teknologi pertanian dengan alibi bisa meningkatkan produktivitas hasil tani secara efektif dan efisien. Akan tetapi dalam kebijakan tersebut perlunya pengawalan dalam bentuk pendampingan secara khusus dari hal-hal yang kecil, karena sejauh ini kebijakan mengenai pembangunan pertanian yang berkelanjutan dinilai kurang maksimal dalam pengawalannya, sehingga belum mampu mencapai hal-hal yang diinginkan. Teknologi pertanian berbicara tentang sejauh mana mampu mempengaruhi perkembangan pertanian dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan.

Mengambil contoh kasus salah satu kegiatan pendampingan petani yang yang dilakukan di lahan kolaborasi antara petani Desa Baluase, Sigi, BPTP Sulteng, Yayasan Pusaka Indonesia, dan Caritas Swiss. Dilansir dari Liputan6.com, Teknologi tanam dan pendampingan menjadi harapan petani di Kabupaten Sigi untuk bangkit dari dampak bencana yang terjadi pada 2018 lalu. Di Desa Baluase, cara itu memberi dampak signifikan pada hasil panen. Hari itu jadi momen penting bagi kelompok Tani Sintuvu Singgani yang menghelat panen perdana yang dihadiri pejabat Kabupaten Sigi di demplot padi hasil kolaborasi mereka dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, Yayasan Pustaka Indonesia (YPI), dan Caritas Swiss. Hasil monitoring BPTP Sulteng terhadap lahan percontohan yang mulai digarap petani Baluase sejak akhir Desember tahun 2020 itu dihasilkan 8,32 ton gabah dengan taksiran menjadi beras sebanyak 5,1 ton. Hasil penen itu jauh meningkat dibanding biasanya yang hanya 4,7 ton per hektare atau 2,9 ton beras. Capaian itu terjadi juga karena pendampingan BPTP dengan penerapan teknologi pertanian, mulai dari pemilihan varietas, pola tanam, hingga pemilihan pupuk.

Jika diamati dari contoh kasus diatas, bisa dilihat bagaimana bentuk efektifitas yang seharusnya terjadi jika pendampingan terhadap petani berjalan dengan baik dan terstruktur hingga pada hasil yang diperoleh petani. Akan tetapi, menurut pandangan subjektif melalui pengamatan yang saya lakukan secara pribadi terlepas dari perbedaan pandangan dari para pembaca nantinya, saya menganggap hal inilah yang selalu menjadi ketimpangan. Hal yang dimaksud ialah fungsionalis dalam bentuk pendampingan yang kurang maksimal bahkan seolah-olah hanya menjalankan kegiatan dan tidak menjaga stabilitas pendampingan yang dilakukan hingga pada hasil pertanian. Mereka yang berperan sebagai pelaksana pendampingan dalam hal ini penyuluh pertanian yang dianggap hanya mengadakan kegiatan sebagai formalitas proyeksi kegiatan semata, dengan berbagai alibi yang muncul tentang respond dan tindakan petani yang sering menjadi alasan tidak terjalankan dengan baiknya fungsi-fungsi pendampingan terhadap petani.

Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 & 2, Sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut sistem penyuluhan adalah seluruh rangkaian pengembangan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, serta sikap pelaku utama dan pelaku usaha melalui penyuluhan. Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sistem penyuluhan dan teknologi pertanian apakah sudah sesuai dengan harapan? Atau hanya wacana? media dijadikan budak dan para pembacanya membudak.

Dari berbagai pembahasan yang disajikan sebelumnya, tidak ada upaya mempengaruhi cara berpikir pembaca, seluruhnya hanya pandangan subjektif penulis terlepas banyaknya perdebatan yang hadir dalam pikiran pembaca itu tak jadi masalah. Semua tentang siapa yang membaca dan untuk apa membacanya. Berbagai pandangan Positif dan Negatif telah dipaparkan sebelumnya, silahkan cermati dan amati bahwa setiap akhir narasi dari keempat poin tersebut selalu terdapat pertanyaan yang tidak dijawab penulis, hal ini karena menganggap hasil kajian bukan akhir dari keseluruhan cara berfikir yang bisa disamaratakan. Hasil Kajian hanya pandangan Subjektif.

 

Sumber :

- Kamus Besar Bahasa Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 & 2