Wednesday, 24 December 2025 , Admin
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Gender dalam konteks pembangunan pertanian tidak bisa dipandang semata sebagai label biologis karena ia merupakan sebuah konstruksi sosial yang menentukan peran, harapan, dan pembagian tugas dalam komunitas agraris. Pemahaman bahwa gender adalah produk budaya dan struktur sosial membuat kita sadar bahwa perbedaan peran antara perempuan dan laki laki bukanlah sesuatu yang alamiah dan tidak dapat diubah, melainkan hasil dari kebiasaan, norma, dan kebijakan yang terwariskan. Ketika kita mulai melihat gender sebagai konstruksi, maka fokus perbaikan bergeser dari sekadar pemakluman terhadap keadaan menjadi upaya sistematis untuk mengidentifikasi aturan aturan sosial yang mereproduksi ketidaksetaraan. Dengan demikian konsep kesetaraan gender menjadi pijakan normatif dan praktis untuk menuntut agar hak, kesempatan, dan akses berjalan setara bagi semua individu tanpa memandang jenis kelamin.
Pemahaman bahwa ketimpangan gender adalah hasil konstruksi sosial membuka ruang untuk menelaah bagaimana nilai nilai budaya mempengaruhi organisasi kehidupan sehari hari di lingkungan pertanian. Norma normatif yang menetapkan tugas domestik sebagai domain perempuan dan tugas publik sebagai domain laki laki seringkali membentuk harapan yang rigid terhadap kemampuan dan peran masing masing. Selain itu, kebiasaan semacam itu mempengaruhi pembentukan kebijakan lokal hingga level rumah tangga, sehingga praktik diskriminatif dapat berulang secara sistemik. Kesadaran kritis terhadap asal usul ketimpangan ini adalah langkah awal yang memungkinkan perumusan intervensi yang tidak hanya memperbaiki distribusi sumber daya tetapi juga merombak cara masyarakat melihat dan menilai kapasitas perempuan.
Budaya patriarki muncul dalam banyak jawaban peserta sebagai akar yang menjelaskan mengapa ketimpangan gender tetap bertahan di sektor pertanian. Patriarki tidak hanya menampakkan diri sebagai stereotip bahwa perempuan semestinya berada di ruang domestik, tetapi juga mewujud dalam praktik sehari hari seperti siapa yang memiliki akses terhadap lahan, siapa yang diajak berkonsultasi dalam pengambilan keputusan, dan jenis pekerjaan apa yang dianggap layak untuk perempuan. Karena patriarki tertanam dalam struktur sosial, perubahan yang diperlukan tidak hanya bersifat teknis tetapi juga mencakup transformasi norma sosial yang mendukung relasi relasi kekuasaan yang timpang. Tanpa menggugat struktur ini, intervensi yang tampak membantu pada permukaan berisiko hanya menghasilkan perbaikan sementara.
Manifestasi patriarki yang paling mudah dikenali adalah segmentasi pekerjaan berdasarkan gender yang membatasi perempuan pada pekerjaan yang dianggap ringan, teliti, atau bersifat domestik. Pembagian tugas seperti ini mempengaruhi nasib ekonomi dan sosial perempuan karena pekerjaan yang dikategorikan sebagai "ringan" sering kali dipandang kurang bernilai secara ekonomi sehingga upah dan pengakuan atas pekerjaan tersebut menjadi rendah. Di lapangan pembagian semacam ini juga menentukan siapa yang memperoleh pelatihan, siapa yang ditunjuk sebagai perwakilan kelompok tani, dan siapa yang mempunyai akses ke jaringan distribusi hasil pertanian. Akibatnya perempuan yang sesungguhnya memiliki pengalaman dan pengetahuan praktis di lapangan sering kali tidak mendapat ruang untuk menyumbangkan gagasan strategis.
Ketimpangan upah dan akses terhadap sumber daya menjadi konsekuensi nyata dari pembagian kerja yang bias gender. Perempuan yang bekerja di berbagai tahapan produksi mulai dari pembibitan, penanaman, hingga pascapanen sering menerima kompensasi yang lebih kecil dibandingkan rekan laki laki yang melakukan pekerjaan yang dinilai lebih "bernilai". Selain itu struktur administratif dan praktik pemberian bantuan yang mengutamakan kepala keluarga laki laki menciptakan hambatan formal bagi perempuan untuk mengakses modal, pupuk, teknologi, atau subsidi pemerintah. Hambatan administratif ini memperkuat ketergantungan ekonomi perempuan pada figur laki laki dalam keluarga dan menjadikan perempuan kurang mampu mengambil keputusan strategis untuk meningkatkan usahanya.
Kepemilikan lahan dan akses pada instrumen produksi menjadi pusat perdebatan karena status kepemilikan sering menentukan kemampuan untuk berinvestasi dan memperoleh kredit. Ketika mayoritas lahan yang digunakan perempuan dimiliki secara de facto oleh suami atau orang tua, perempuan kehilangan peluang untuk menggunakannya sebagai jaminan finansial atau sebagai dasar klaim untuk program dukungan. Padahal kepemilikan formal memberi akses yang lebih luas pada peluang pasar dan program pemerintah. Dengan kepemilikan yang jelas, perempuan tidak hanya mendapatkan pengakuan sosial tetapi juga posisi tawar yang lebih kuat untuk merundingkan pembagian manfaat dari hasil usaha tani.
Di sisi lain kontribusi perempuan pada rantai nilai pertanian sangat signifikan dan tidak terbantahkan. Perempuan memegang peran penting dalam pemeliharaan tanaman, pengelolaan pascapanen, pengolahan hasil, pemasaran skala kecil, serta pengelolaan konsumsi pangan rumah tangga yang berdampak pada ketahanan pangan keluarga. Kontribusi ini memiliki nilai ekonomi yang nyata bila dihitung—bukan sekadar sebagai pekerjaan bantu—karena perempuan seringkali menjembatani produksi dan konsumsi serta menjaga kualitas produk yang masuk ke pasar lokal. Namun karena kontribusi tersebut kurang diakui dalam kebijakan dan statistik, peran perempuan seringkali tidak tercermin dalam perencanaan dan alokasi sumber daya.
Masalah lain yang menurunkan visibilitas perempuan adalah kecenderungan pengukuran yang tidak memadai terhadap kerja yang tidak berbayar atau berbayar rendah. Banyak kegiatan yang dilakukan perempuan, terutama yang terkait dengan pengelolaan makanan keluarga dan ritual lokal, tidak tercatat dalam statistik produktivitas formal sehingga kontribusi mereka terkesan kecil. Pengabaian ini menghambat perumusan kebijakan yang sensitif gender karena data yang tersedia tidak menggambarkan realitas lapangan. Oleh karena itu pengembangan indikator dan metodologi evaluasi yang mampu menangkap kontribusi perempuan menjadi prasyarat untuk merancang intervensi yang efektif.
Mengatasi ketidaksetaraan memerlukan kombinasi solusi struktural dan kultural yang saling melengkapi. Secara struktural perlu ada kebijakan pertanian yang responsif gender, seperti pengakuan hak kepemilikan lahan atas nama perempuan, akses pembiayaan mikro yang di desain tanpa persyaratan kepala keluarga laki laki, serta program teknologi yang memperhatikan kebutuhan waktu dan kapasitas perempuan. Program afirmatif yang memfasilitasi pembentukan kelompok kelompok tani perempuan, serta akses ke pasar yang lebih luas, dapat meningkatkan posisi tawar ekonomi perempuan. Perubahan kebijakan semacam ini harus dirancang dengan partisipasi perempuan agar relevansi dan efektivitasnya tinggi.
Transformasi kultural adalah proses yang lebih panjang namun sama pentingnya dengan reformasi kebijakan. Pendidikan publik, kampanye kesadaran, dan pelatihan yang menantang stereotip gender akan membuka ruang bagi redistribusi peran di rumah dan di lapangan. Cerita cerita keberhasilan perempuan yang memimpin usaha tani atau mengelola unit unit usaha agribisnis kecil perlu disebarluaskan sebagai contoh konkret bahwa kapasitas bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika tokoh tokoh masyarakat, termasuk laki laki yang progresif, secara terbuka mendukung prakarsa kesetaraan sehingga resistensi sosial dapat diminimalkan.
Dalam merancang program implementasi, penting mempertimbangkan beban ganda yang dihadapi perempuan yang harus menyeimbangkan pekerjaan domestik dan kegiatan produksi. Penyediaan layanan pendukung seperti fasilitas penitipan anak di lokasi kegiatan, penjadwalan pelatihan yang fleksibel, serta fasilitas transportasi sederhana dapat meningkatkan partisipasi perempuan. Solusi praktis ini membantu mengurangi hambatan partisipasi yang bersifat teknis dan memperbesar peluang perempuan untuk mengikuti pelatihan, mengakses pasar, dan menjadi bagian dari jaringan distribusi.
Pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan harus diwujudkan secara bermakna bukan sekadar simbolik. Partisipasi bermakna berarti perempuan memiliki kapasitas untuk mengemukakan pendapat, ikut menyusun prioritas program, serta menikmati hasil dari keputusan yang diambil. Mekanisme fasilitasi seperti kuota keterwakilan perempuan dalam kelembagaan lokal, program pengembangan kapasitas kepemimpinan, dan penguatan keterampilan negosiasi perlu diimplementasikan untuk memastikan perwakilan perempuan bukan hanya hadir tetapi berdaya. Upaya ini akan memperkaya proses perencanaan dengan perspektif yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan keluarga serta komunitas.
Dari perspektif ekonomi dan ketahanan pangan, memajukan kesetaraan gender memberikan manfaat yang nyata. Ketika perempuan memperoleh akses yang setara terhadap input produksi, pelatihan, dan pasar, produktivitas usaha tani cenderung meningkat karena adanya optimalisasi sumber daya manusia yang ada. Selain itu pemberdayaan perempuan berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rumah tangga dan alokasi sumber daya untuk kesehatan dan pendidikan anak anak sehingga efeknya bersifat multiplikatif. Oleh karena itu investasi pada kesetaraan gender bukan sekadar langkah keadilan sosial tetapi juga strategi pembangunan yang rasional secara ekonomi.
Agar perubahan yang diupayakan berkelanjutan, perlu adanya mekanisme monitoring dan evaluasi yang jelas dengan indikator indikator sensitif gender. Data yang terdisagregasi menurut jenis kelamin pada metrik kepemilikan lahan, akses pembiayaan, partisipasi dalam pelatihan, dan pengambilan keputusan akan memudahkan penilaian kemajuan dan penyesuaian kebijakan. Lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi dapat bekerja sama dalam mengembangkan sistem pemantauan yang transparan sehingga capaian dan hambatan dapat diidentifikasi secara teratur.
Kesimpulannya, perubahan menuju kesetaraan gender dalam pembangunan pertanian menuntut kerja kolaboratif yang menggabungkan reformasi kebijakan, program pemberdayaan, perubahan budaya, serta penguatan data dan akuntabilitas. Setiap aktor memiliki peran; keluarga sebagai unit dasar harus membuka ruang bagi pembagian tugas yang adil, komunitas harus mereformulasi norma sosial, dan pemerintah serta lembaga pendukung harus menyediakan fasilitas dan kebijakan yang memfasilitasi keterlibatan perempuan. Dengan langkah langkah sistematis dan komitmen jangka panjang, sektor pertanian dapat menjadi arena keadilan gender sekaligus motor peningkatan produktivitas dan ketahanan pangan.
Tujuan jangka panjang yang dapat diusung adalah pertanian yang inklusif dimana hak dan kesempatan dibagi secara adil sehingga seluruh potensi manusia, baik perempuan maupun laki laki, dapat dimobilisasi untuk kesejahteraan bersama. Mewujudkan visi tersebut membutuhkan keberanian untuk merombak kebiasaan lama, kecermatan dalam merancang kebijakan, dan ketekunan dalam melakukan perubahan kultural. Jika upaya ini berhasil, bukan hanya kesetaraan yang tercapai tetapi juga ketahanan sosial dan ekonomi komunitas agraris yang menjadi lebih tangguh dan adil bagi generasi yang akan datang.