Jangan Menjadi Anti Kritik


Monday, 29 January 2024 , Admin

Jangan Menjadi Anti Kritik

Jangan Menjadi Anti Kritik

      Banyak isu yang mengisi media dan paradigma masyarakat di Indonesia, mulai dari isu tiga periode, hutang negara yang melonjak, hingga ketimpangan pada segi hukum. Banyak sekali tumpang tindih yang sudah menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Namun, dalam menyikapi hal tersebut, masyarakat sipil belum bisa mengambil tindakan lebih selain hanya mengungkapkan keresahan lewat media sosial ataupun tulisan yang lain. Selain yang telah disebutkan di atas, isu yang hangat belakangan ialah kebebasan berpendapat yang terkungkung. Tindakan kepada orang yang menyatakan pendapat pada rezim, seolah memaksa masyarakat untuk tetap patuh saja terhadap apa yang telah ditentukan.

      Membahas tentang kebebasan berpendapat di Indonesia, kita mestinya teringat oleh kisah kelam di tahun 1998 di saat rezim Soeharto melakukan penculikan terhadap para aktivis yang dengan lantang melawan rezim yang otoriter. Banyak aktivis yang diculik pada saat itu. Ada yang kembali dengan selamat (walau telah merasakan kebengisan aparat saat itu), dan ada pula yang sampai saat ini belum kembali dan tidak diketahui keberadaannya. Ada puluhan aktivis yang diculik, namun yang belum kembali sekitar 13 orang termasuk satu orang yang pasti tidak asing di telinga mahasiswa yaitu 'Widji Thukul'. Widji Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963. Dia bernama asli Widji Widodo dan merupakan seorang penyair dan aktivis hak asasi manusia yang terkenal atas puisi dan syairnya yang ditujukan untuk mengkritik pemerintahan rezim Orde Baru yang berkuasa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Wiji Thukul berasal dari masyarakat kelas bawah yang pemberani, ia berani menyuarakan apa yang menjadi penderitaannya selama penguasa bersikap sewenang-wenang terhadap kaum miskin.1

Isu kebebasan berpendapat sekarang ini kembali mengingatkan masyarakat dengan kisah yang kelam itu. Hal ini dikarenakan pada beberapa kesempatan,orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah dapat dengan mudah dipidanakan. Seakan para pemangku kebijakan ini senantiasa benar dalam mengambil keputusan dan tidak pernah luput dari kesalahan. Hal ini yang semestinya menjadi bahan evaluasi juga dari bangku parlemen dan orang yang ada di istana. Seharusnya lebih menerima dan terbuka atas kritikan yang ditujukan kepada mereka, bukannya merasa ter-ofensif dengan adanya kritikan yang diberikan. Jikalau pemerintah sudah anti dengan kritikan, maka akan memulai awal dari kekacauan. Bisa saja akan timbul hal-hal yang berseberangan dan tidak dikehendaki oleh rakyat. Sedangkan kita semua tahu bahwa pemerintah dapat berada dalam kekuasaannya karena suara dari rakyatnya sendiri. Ketika kritikan ditanggapi dengan tindak pidana, artinya pemerintah tersinggung dengan benarnya ketimpangan yang mereka perbuat.

      Sosok yang sangat dikenal di kalangan masyarakat adalah Rocky Gerung. Beliau adalah seorang pengamat politik yang kerapkali ingin dipidanakan oleh beberapa pihak, namun gagal dan tidak ada kelanjutannya. Beliau bisa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan hakim saat berada di dalam ruang persidangan. Beliau dapat membuktikan bahwa kritikan yang ia lontarkan tidak keluar dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Artinya di sini bahwa pemerintah masih saja ingin menutupi kekurangan dan kesalahan mereka dalam memimpin negeri ini, walau pada kenyataannya hal-hal itu sudah terumbar di ranah publik.

      Isu yang lain selain kebebasan berpendapat, yaitu isu tiga periode. Masa jabatan presiden yang kita ketahui dan dibatasi dalam konstitusi ialah dua periode atau sepuluh tahun. Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan soal isu hangat tersebut. Pasalnya, Jokowi yang oleh segelintir pihak digadang-gadang akan meneruskan masa jabatan hingga tiga periode, mendapat respon penolakan yang cukup besar dari masyarakat. Memang beliau selalu mengatakan bahwa akan berpegang teguh pada konstitusi, namun di saat para pendukungnya ber-euforia dengan isu tiga periode ini, tidak ada tindakan tegas dari Jokowi sendiri untuk menolak hal tersebut.

      Harusnya ketika telah mengetahui ada hal demikian yang terjadi, Pak Jokowi memberikan penegasan bahwa ia tidak ingin menduduki jabatan dengan tiga periode. Semuanya harusnya merujuk pada konstitusi pada pasal 7 UUD NRI1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan”. Indonesia memiliki banyak calon pemimpin yang baik kinerjanya. Sudah semestinya diberi juga ruang untuk bisa berkiprah di bidang itu. Negara akan mengalami stagnasi jika hanya ‘lingkaran’ itu saja yang memimpin negeri ini, sedangkan kita juga perlu usulan dan terobosan baru dari calon pemimpin yang ada nantinya.

      Untuk tetap bertahan pada pendirian bahwa usulan tiga periode ini tidak masalah, maka kita tidak boleh menutup mata tentang rekam jejak dari kinerja selama ini. Menurut catatan KPU, dalam masa enam tahun jabatan Jokowi, tercatat sebanyak 72 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi, yang di mana hal ini masih menjadi isu yang sangat sering dibahas dalam negeri. Bukan tentang mengapa banyak yang terlibat dalam kasus rasuah ini, tapi bagaimana sikap hukum terhadap orang-orang yang tamak ini. Mereka sudah sepatutnya mendapat ganjaran yang setimpal karena merugikan negara dan rakyatnya.

Karya:

Muhammad Dirga Alfaridzi Sailellah

Peserta LK2M XIX

 

REFERENSI

1 Hantisa Oksinata, "Kritik sosial dalam kumpulan puisi aku ingin jadi peluru karya wiji
thukul (kajian resepsi sastra)", (2010).