Thursday, 17 April 2025 , Admin
Perampasan lahan yang masih marak terjadi di Indonesia menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak agraria masyarakat, khususnya petani. Pemerintah sebenarnya memiliki peran vital dalam menjamin keadilan agraria, terutama melalui implementasi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Namun, lemahnya pengawasan dan minimnya tindak lanjut atas undang-undang tersebut menyebabkan pelanggaran agraria terus berlangsung. Mahasiswa sebagai agen perubahan melihat bahwa negara tampak abai terhadap isu krusial ini, padahal keadilan agraria menyangkut kehidupan rakyat banyak, terutama kelompok marginal seperti petani dan masyarakat adat.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto menghentikan implementasi UUPA 1960 karena dianggap menghambat proyek pembangunan ekonomi yang berbasis kapitalisme kroni. Soeharto mengedepankan pendekatan otoriter demi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun kebijakan ini lebih menguntungkan para elite politik dan pemodal besar ketimbang rakyat kecil. Kebijakan tersebut memicu akumulasi modal oleh segelintir orang dan mengesampingkan keadilan sosial. Akibat akumulasi ketimpangan, kritik terhadap pemerintah menguat dan menjadi salah satu alasan utama runtuhnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998.
Jika UUPA dijalankan secara konsisten di era sekarang, maka akan terjadi perombakan besar dalam struktur kepemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia. Namun, pelaksanaannya kini dibayangi oleh kepentingan kapitalisasi lahan yang semakin dominan, seringkali dibalut dengan program percepatan ekonomi atau pembangunan infrastruktur. Hal ini diperparah dengan hadirnya dokumen Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) yang seharusnya menjadi alat perlindungan lingkungan, tetapi justru kerap disalahgunakan untuk melegitimasi perampasan lahan oleh investor besar.
Indonesia sendiri tengah berada di persimpangan dua ideologi: sosialisme yang menekankan keadilan dan kemandirian rakyat, serta kapitalisme yang menonjolkan efisiensi pasar dan keuntungan ekonomi. Pemerintah sering kali bersikap ambigu, tidak sepenuhnya berpihak pada kemandirian nasional, terlihat dari masih tingginya ketergantungan pada impor pangan dan barang kebutuhan pokok lainnya. Padahal, jika para petani dimandirikan secara serius dengan kebijakan yang berpihak, maka ketahanan pangan bisa dicapai tanpa harus mengandalkan impor.
Birokrasi dalam penyaluran bantuan kepada petani juga menjadi sorotan. Dahulu, bantuan kepada petani harus melewati banyak kementerian, membuat prosesnya lambat dan berbelit-belit. Meski kini mekanismenya telah disederhanakan, penyaluran bantuan masih belum optimal karena lemahnya pengawasan dan pengaruh kepentingan politik. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas menyebabkan program bantuan tidak selalu tepat sasaran. Di sinilah pentingnya peran oposisi dalam sistem politik untuk memastikan bahwa kebijakan dijalankan sesuai kepentingan rakyat.
Untuk memandirikan petani, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah nyata seperti reformasi agraria sejati, penguatan kelembagaan petani, akses mudah terhadap pupuk, modal, dan pasar, serta pendidikan pertanian berbasis pemikiran kritis dan teknologi tepat guna. Kurikulum pendidikan juga harus diubah agar generasi muda tidak hanya dilatih untuk bekerja, tetapi juga mampu berpikir kreatif dan inovatif. Dengan begitu, pertanian tidak hanya menjadi sektor bertahan hidup, tetapi menjadi basis kemandirian ekonomi nasional. Sumber-sumber yang mendukung narasi ini termasuk data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan publikasi dari Komnas HAM terkait konflik agraria terbaru pada 2023.
Bedah Artikel : Nenengisme dan Problemnya
Admin
24 April 2025