RUU Pertanahan Untuk Siapa?


Sunday, 20 October 2019 , Admin

RUU Pertanahan Untuk Siapa?

Oleh : Raja Lentera

Sejarah RUU Pertanahan dimulai pada zaman penjajahan dimana dikenal dengan istilah Sistem Tanam Paksa adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak kehidupan penjajah.

Undang-Undang Pokok Agraria (secara resmi bernama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria) adalah undang-undang yang mengatur tentang dasar-dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia. Hal itu mencakup dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok, hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa serta pendaftaran tanah, ketentuan-ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.

Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaring (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/milik penjajah belanda).Selain itu, pada pasal 94 terhadap ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan.

Adapun hal-hal yang disoroti pada UUD Pertanahan yaitu :

  1. Pasal 36 RUU Pertanahan yang mewajibkan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir. "Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, otomatis negara memilikinya. Ketentuan ini sama seperti praktik politik agraria zaman kolonial Belanda yang bernama Domein Verklaring di mana tanah yang tidak didaftarkan akan menjadi milik negara.

Nuansa Domein Verklaring zaman Belanda

Draft RUU Pertanahan ini juga dianggap mengandung nilai Domein Verklaring zaman kolonial Belanda. Domein Verklaring sendiri merupakan asas di mana tanah menjadi milik negara ketika sang pemilik tanah tidak bisa membuktikkan bukti kepemilikkannya. Nuansa itu muncul dalam Pasal 36:

Pasal 36

(1) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b diberikan kepada:

a. instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b. perwakilan negara asing dan lembaga internasional; atau

c. badan keagamaan dan sosial.

(2) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pemegang hak dalam rangka pelayanan publik.

(3) Hak Pakai selama digunakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilepaskan dan dialihkan dengan cara tukar bangun atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai dengan jangka waktu dan Hak Pakai selama digunakan diatur dalam Peraturan PemerintahPasal yang bisa melindungi nama pemilik HGU. Hal itu disebutkan dalam pasal 46 ayat 8. Begini bunyinya: “Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data Pertanahan kecuali informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Meskipun tak secara eksplisit menyebut pemilik HGU dirahasiakan, namun menurutnya pasal itu tetap memiliki celah untuk menyembunyikan nama pemilik HGU. 

  1. Masa kepemilikan HGU diperpanjang 90 tahun. Pasal lain yang bermasalah, menurut Dewi adalah pasal 26. Pasal ini menurutnya memberikan Hak Guna Usaha (HGU) sampai 90 tahun. Begini bunyi pasalnya:

Pasal 26

(1) Hak Guna Usaha diberikan dengan jangka waktu: 

a. untuk perorangan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan 

b. untuk badan hukum paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.

Inti dari kajiian ini adalah RUU Pertanahan ini tentunya sangat merugikan bagi masyarakat Indonesia, terutama kepada para petani. Dimana pemerintah berusaha untuk merampas hak kepemilikian tanah petani dan memberikanmya kepada pemilik modal. Sudah menjadi kewajiban bagi kami para mahasiswa untuk mengajak teman-teman agar membela kepentingan rakyat, mempertahankan hak kepemilikan tanah bagi para petani yang akan dirampas oleh pemerintah melalui retorika UU.